Sejarah Gulat
Pengurus Besar Persatuan Gulat Seluruh Indonesia ( PB. PGSI )
Berdasarkan faktar-fakta sejarah, gulat adalah cabang olahraga yang cukup tua umurnya. Di bawah ini diuraikan secara singkat sejarah gulat yang sebahagian besar diikuti dari buku The Olympic Guide dan ditambah juga dari buku Der Freis Ringkamf Handbuchfur Trainer und Ubungsliter serta wawancara dengan anggota pengurus persatuan Gulat Seluruh Indonesia tingkat pusat dan daerah.
Zaman Prasejarah
Pada tahun 2500 SM gulat telah menjadi suatu mata pelajaran di suatu sekolah di negara Cina. Begitu juga sekitar tahun 2050 SM gulat telah dipelajari oleh orang-orang Mesir. Hal ini ketahui berdasarkan peninggalan bangsa Mesir pada waktu itu. Salah satu peninggalannya tersebut berupa gambar-gambar yang menunjukkan teknik-teknik bergulat yang terdapat pada dinding Raja Bani Hasan. Selain itu sejarah juga menunjukkan bahwa negara-negara lainpun terdapat suatu jenis perkelahian yang serupa dengan bentuk-bentuk bergulat, seperti Sumo di Jepang, Glima di Iceland, Sohwingen di Swiss, Lancasshire di Scotch, Gumberland di Irish, Caterhras Chath Can di Amerika Serikat dan Greco Roman di Yunani.
Olympiade
Sejak Olympiade kuno, gulat telah menjadi suatu acara pertandingna, walaupun acara tersebut diadakan di dalam acara Penthalon. Peserta yang mengikuti pertandingan Pentahlon itu harus mengikuti pertandingan lompat jauh, lempar lembing, lari cepat, lempar cakram dan bergulat.
Pada Olympiade – I tahun 1896 di Athena, gulat gaya Yunani-Romawi menjadi suatu acara pertandingan tersendiri. Pegulat-pegulat tuan rumah pada umumnya memenangkan pertandingan. Hal ini disebabkan karena peraturan yang dipakai pada waktu itu tidak sama dengan peraturan yang dipakai di negara-negara peserta. Setelah itu pada setiap penyelenggaraan Olympiade, tuan rumahlah yang selalu menentukan peraturan pertandingan yang ditentukan. Bahkan gaya gulat yang dipertandingkan tuan rumah juga yang menentukannya, walaupun negara peserta lainnya belum menguasai gaya gulat itu.
Pada Olympiade – III tahun 1904 di St. Louis, Amerika Serikat maka acara pertandingan gulat hanya untuk gaya catehras catch can saja. Gaya gulat ini sangat digemari oleh rakyat Amerika Serikat sementara negara-negara lain merasa kecewa karena mereka pada umumnya mempelajari gaya Yunani-Romawi. Memang antara kedua gaya ini sangat jauh perbedaannya. Dalam gulat gaya Yunani-Romawi, peserta hanya diperbolehkan menyerang lawan dari batas pinggang ke atas dan tidak boleh menggunakan kaki sebagai alat untuk menyerang. Sedangkat gulat gaya catch as catch can hampir semua tangkapan diperbolehkan, malahan kunci-kunci mematahkan lawan juga diperbolehkan.
Inggris sebagia tuan rumah Olympiade IV tahun 1908, mengadakan pertandingan gulat untuk dua gaya yaitu Yunani-Romawi dan catch as catch can. Diluar dugaan Amerika Serikat sebagai juara gaya catch as catch can mendapat perlawanan yang keras dari negara-negara yang berasal dari Eropa. Meskipun demikian kekacauan dari negara peserta masih ada sebab peraturan pertandingan belum seragam.
Peraturan gulat internasional baru diadakan pada Olympiade XI tahun 1936 di Berlin, Jerman. Pada waktu itu juga dibentuk Federasi Gulat Internasional atau Federation Internationale de Lutte Amateur (FILA). Sejak itu FILA memperbaiki peraturan gulat internasional.
Perkembangan Gulat di Indonesia
sejak sebelum Perang Dunia II, Indonesia sudah mengenal gulat internasinal. Gulat ini dibawa oleh tentara Belanda. Masyarakat Indoensia ketika itu mengenal gulat sebagai tontonan di pasar malam atau pada pesta-pesta di kota besar sebagai acara hiburan.
Tahun 1941 – 1945 sewaktu Indonesia diduduki tentara Jepang, seni bela diri Jepang seperti Judo, Sumo dan Kempo masuk pula ke Indonesia, sehingga gulat secara berangsur-angsur menjadi hilang.
Tahun 1959 di Bandung pernah diadakan pertandingan gulat bayaran antara Batling Ong melawan Muh. Kunyu dari Pakistan. Dari Pakistan pertandingan itu mendapat perhatian yang cukup besar dari pencadu olahraga gulat di Indonesia, khususnya masyarakat di kota Bandung. Pertandingan itu diselenggarakan oleh PERTIGU (Persatuan Tinju dan Gulat), suatu wadah olahraga amatir dan profesional tinju dan gulat di Indonesia. Mengingat pada waktu itu pemerintah dalam hal ini menteri olahraga tidak membernarkan adanya Organisasi Olahraga Tinju dan Gulat bayaran. Terlebih-lebih dengan adanya kebutuhan nasional dimana Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, maka ketua OC Asian Games menunjuk Kolonel CPM R. Rusli (sekarang Mayjen Purn), untuk membentuk suatu organisasi gulat amatir. Maksudnya Pemerintah berkeinginan agar Indonesia dapat menerjunkan pada pegulatnya dalam arena Asian Games IV itu. Kol. Rusli yang mendapatkan mandat dari Ketua OC Asian Games IV tahun 1962 itu segera melaksanakan tugasnya. Dihubunginya beberapa tokoh olahraga yang ada di Bandung diantaranya Batling Ong, Ong Sik Lok, M.Cc. M.F. Siregar, M.Sc., H.B. Alisahbana dan Abdul Djalil.
Selain beberapa kali mengadakan pertemuan di rumah Kol. R. Rusli di jalan Supratman Bandung, maka tepatnya pada tanggal 7 Pebruari 1960 didirikanlah sebuah organisasi gulat amatir Indonesia dengan nama Persatuan Gulat Seluruh Indonesia yang disingkat PGSI.
Dengan adanya kejuaraan dunia di Yokohama tahun 1961, maka PGSI mengadakan seleksi nasional untuk menentukan tim Indonesia ke kejuaraan dunia yang berlangsung pada bulan Juni 1961.
Empat pegulat terpilih dalam seleksi itu untuk mewakili Indonesia yaitu Rachman Firdaus (kelas 68 kg gaya bebas) Yoseph Taliwongso (kelas 68 kg gaya Yunani-Romawi) Sudrajat (kelas 62 kg gaya bebas) ketiganya dari Bandung, seoran gdari Yogyakarta yakni Elias Margio (kelas 62 kg gaya Yunani). Mereka ini didampingi oleh Kapten Obos Purwono sebagai tim manajer serta Batling Ong sebagai pelatih.
Dalam PON V tahun 1961 di Bandung olahraga gulat termasuk salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan dengan mengambil tempat di Bioskop Varia (sekarang Nusantara). Daerah-daerah yang telah mempunyai pengurus mengirimkan para pegulatnya juga. Namun Jawa Barat tetap memborong medali terbanyak.
Tahun 1962 Asian Games IV berlangsung di Jakarta. Indonesia menurunkan para pegulatnya secara full team, mulai dari kelas 52 kg sampai dengan 87 kg. Prestasi para pegulat kita belum begitu menggembirakan, Indonesia hanya meraih 2 medali perunggu melalui gulat Mujari (kelas 52 kg) dan Rachman Firdaus (kelas 63 kg) yang keduanya bertanding dalam gaya Yunani-Romawi.
Dalam Ganefo I (Games of The New Emerging Forces) yang berlangsung di Jakarta tahun 1963, Indonesia juga mengikutsertakan pegulatnya. Yoseph Taliwongoso yang bertanding di kelas 70 kg, gaya Yunani-Romawi berhasil meraih medali perak, sedangkan Suharto kelas 97 kg, meraih perunggu.
Tahun 1964 PB. PGSI mengirimkan para pegulatnya ke RRC dan Korea Utara untuk menambah pengalaman. Diantara para pegulat yang dikirimkan itu ialah Rachman Firdaus, Joseph Taliwongso, Bambang Kantong, Saut Tambunan dan Wachmana.
Tahun 1965 menjelang diselenggarakannya PON VI di Jakarta, muncul pegulat-pegulat yang penuh bakat, seperti Suparman Hamid, Tigor Siahaan, Johny Gozali. Sayang para pegulat ini belum sempat menampilkan kebolehannya dalam arena PON VI yang batal karena situasi politik dan mengakibatkkan tersendat-sendatnya kemajuan para pegulat Indonesia.
Tahun 1966 menjelang Asian Games V di Bangkok, PGSI mengadakan kejuaraan nasional di Bandung. Setelah melakukan seleksi yang ketat terpilih pegulat-pegulat Rachman Firdaus, S.H., Ir. Suparman Hamid dan Ir. Saut Tambunan untuk memperkuat kontingen Indonesia.
Tahun 1967, diselenggarakan kejuaraan nasional di Surabaya, kesempatan ini merupakan yang terakhir kalinya dihadiri oleh Bapak Gulat Indonesia Batling Ong Hong Liong.
Tahun 1968, merupakan tahun yang sepi bagi PGSI karena tidak adanya kegiatan tingkat nasional. Kesempatan ini diarahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi PON VII tahun 1969 di Surabaya.
Tahun 1969, diadakan PON VII di Surabaya dimana para pegulat dari daerah-daerah Sumatera Utara, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan mengukur kekuatannya dalam arena tersebut. Daam PON VII ini terlihat olahraga gulat semakin berkembang bahkan muncul pula wajah-wajah baru yang penuh semangat dan berbakat.
Tahun 1970, PGSI mendapat kesempatan lagi untuk ambil bagian dalam Asian Games VI di Bangkok. Untuk itu PGSI mulai menyusun tim dengan terlebih dahulu mengadakan kejuaraan nasional di Bandung. Para pegulat yang terpilih adalah Tigor Siahaan, Sampurno, Darmanto, dan Johny Gozali, namun kali ini gulat juga belum berhasil memperoleh medali untuk disumbangkan di pangkuan Ibu Pertiwi.
Tahun 1971, untuk pertama kalinya dan ternyata merupakan terakhir kalinya gulat dipertandingkan pula dalam POM (pkean Olahraga Mahasiswa) di Palembang.
Tahun 1972, menjelang PON VIII di Jakarta, terlebih dahulu diadakan babak kualifikasi bagi daerah-daerah yang akan ikut serta dalam PON. Untuk pelaksanaannya tahun itu juga PGSI menyelenggarakan kejuaraan Nasional di Medan dan bagi pegulat yang lolos dari babak kualifikasi dapat ikut serta dalam PON VIII tahun 1973 di Jakarta.
Dalam PON VIII ini pula dipertandingkan gulat dalam 2 nomor yakni gaya Yunani-Romawi dan gaya bebas.
Tahun 1973, ini PGSI juga kembali ikut serta dalam kejuaraan gulat di Glanbator, Mongolia dan tim Indonesia terdiri dari Tigor Siahaan, Syampurno, Johny Gozali dan Darmanto.
Selain itu kegiatan internasional yagn diikuti oleh para pegulat kita adalah :
- Tahun 1974 Asian Games VII di Teheran, PGSI mengirimkan pegulat Tigor Siahaan kelas 48 kg dan Johny Gozali kelas 62 kg ; kejuaraan dunia tahun 1978 di Mexico PGSI menerjunkan pegulat-pegulat Suwarto kelas 57 kg, Alfan Sulaiman kelas 62 kg, Tahi Sihombing kelas 68 kg dan Eddy Santoso kelas 74 kg.
- Tahun 1980, di Rumania PGSI mengirimkan pegulat Suwarto kelas 57 kg, Edison kelas 62 kg dan Alfan Sulaiman kelas 68 kg.
- Tahun 1982, Asian Games IX di New Delhi, PGSI mengirimkan Rubianto Hado kela s48 kg, Rusdi kelas 57 kg, dan Alfan Sulaiman kelas 62 kg.
Sejak pembentukannya tahun 1960 PGSI telah banyak melakukan kegiatan baik lokal, nasional maupun internasional. Frekuensi pertandingan bertambah dan daerah baru PGSI juga bertambah.
Saat ini di seluruh Indonesia PGSI mempunyai 17 Pengda :
1. Pengda PGSI Sumatera Utara, jalan Karantina 50 Medan,
2. Pengda PGSI Sumatera Barat, jalan Arief Rahman Hakim 6 Padang
3. Pengda PGSI Riau, Kepala Kantor Kecamatan Tebing Tinggi di Selat Panjang
4. Pengda PGSI Sumatera Selatan, GOR KONI Sumatera Selatan jalan Kapten A. Rivai Palembang
5. Pengda PGSI Jawa Barat, jalan Aceh 47- 49 Bandung
6. Pengda PGSI DKI Jaya, Manajer Stadion Utama Senayan Pintu 8 Jakarta
7. Pengda PGSI Jawa Tengah, SGO jalan Atmodirono 2/4 Semarang.
8. Pengda PGSI D.I. Yogyakarta, jalan Dr. Wahidin 20 Yogyakarta
9. Pengda PGSI Jawa Timur, jalan Ngagel Timur II/30 Surabaya
10. Pengda PGSI Kalimantan Tengah , SMOA Negeri Palangkaraya
11. Pengda PGSI Kalimantan Selatan, Kantor Depdikbud Kecamatan Banjar Barat jalan Batu Tiban Banjarmasin.
12. Pengda PGSI Kalimantan Timur, SGO Negeri Samarinda jalan pahlawan Samarinda
13. Pengda PGSI Sulawesi Utara, KONI Propinsi Sulawesi Utara jalan A. Yani Manado.
14. Pengda PGSI Sulawesi Selatan, jalan Hatimurah 2 Ujung Pandang
15. Pengda PGSI Sulawesi Tengah, Sdr. Suwardji SKKP negeri palu.
16. Pengda PGSI Sulawesi Tenggara, Sdr. Watimena jalan Fajarmerantau Kendari.
17. Pengda PGSI Irian Jaya, KONI Irian Jaya Jayapura.
Peraturan Pertandingan Gulat
Sesuai dengan unsur, maka olahraga gulat dibagi dalam kelompok sebagai berikut :
a. Gulat Mini : 6 – 12 tahun
b. Gulat Anak-Anak : 13 – 16 tahun
c. Gulat Yunior : 17 – 20 tahun
d. Gulat Senior : di atas 20 tahun
Pertandingan olahraga gulat dilakukan di atas matras, berukuran 12 x 12 meter sesuai dengan peraturan gulat internasional. Peraturan pertandingan gulat internasional. Peraturan pertandingan yang dipakai juga peraturan pertandingan gulat internasional dari FILA yang sudah disahkan oleh PB. PGSI.
Pegulat selama bertanding harus memakai baju internasional (wrestlingsuit) sesuai dengan warna dari sudut mana dia berada, biru atau merah. Wasit berada diantara kedua pegulat di lingkaran tengah, satu tangan diluruskan ke depan, kemudian peluit dibunyikan dan lengan wasit ditarik kembali. Pada waktu bertanding, bilamana kedua pegulat tinggal diam beberapa saat maka wasit berteriak open agar supaya daerah serangan dibuka untuk memberi kesempatan pada lawannya melakukan serangan. Setelah itu diharapkan kedua pegulat mengadakan kontak satu sama lain. Setelah kedua pegulat itu mengadakan kontak maka diharuskan adanya serangan salah satu pihak, kalau tidak maka wasit harus berteriak action.
Setiap kali wasit berteriak open, action, ataupun contact, pegulat harus mengerjakan hal itu. Kalau pegulat itu tidak bereaksi maka wasit wajib menghentikan pertandingan dan memberikan peringatan kepada kedua pegulat itu. Bila hal ini terulang setujuan juri atau pres met wajib memberikan suatu angka hukuman. Pemberian angka hukuman ini secara jelas dilakukan oleh wasit sedemikian rupa sehingga juri dan ketua pertandingan serta umum jelas melihatnya. Wasit memanggil kedua pegulat pada lingkaran tengah menghadap ketua pertandingan, salah satu tangan wasit memegang pergelangan tangan pegulat yang mendapat hukuman lurus ke bawah di sisi badan. Sedangkan tangan terbuka, semua jari lurus ke atas dan rapat satu sama lain. Juri dan ketua pertandingan mengangkat papan angka satu yang berwarna sesuai dengan tangan wasit yang diangkat. Ini menunjukkan bahwa satu angka diberikan kepada pegulat yang berwarna merah, maka juri mengangkat papan merah yang berangka 1.
Lama Pertandingan
Setelah Olympic Games tahun 1964 di Tokyo, Jepang, waktu pertandingan menjadi 3 x 3 menit jatuhan. Sebelumnya pertandingan berlangsung selama 12 menit yang terdiri dari dua periode. Periode pertama berlangsung 6 menit yakni bergulat berdiri atau jongkok. Periode kedua, pegulat ditanya oleh wasit apakah hendak bergulat berdiri atau jongkok. Kalau kedua pegulat setuju berdiri maka periode itu berlangsung 6 menit lagi. Akan tetapi jika kedua pegulat memilih bergulat jongkok, maka wasit mengadakan undian untuk menentukan pegulat yang mana terlebih dahulu jongkok dan pegulat yang mana pula yang menyerang lebih dahulu.
Pegulat dinyatakan kalah jatuhan bila pundaknya mengenai lantai dalam hitungan 10 (sepuluh). Jadi pada waktu seseorang pegulat ditekan lawannya maka wasit menghitung seperti wasit tinju bila petinju itu dipukul jatuh.
Bila juri dan ketua pertandingan tidak setuju angkatlah papan putih. Begitu wasit melihat dukungan salah satu petugas itu segera dia menepuk matras pertanda salah satu pegulat dinyatakan touche (jatuhan).
Dukungan juri/pres mat itu dinyatakan dengan mengangkat papan merah/hijau, bahwa pegulat itu kalah jatuhan. Papan itu harus diangkat supaya wasit melihat dengan jelas. Begitu juga wasit harus melirik ke petugas untuk melihat reaksinya.
Juri/pres mat, untuk meyakinkan jatuhan, dia boleh bergerak dari kursinya, tapi jangan terlalu jauh agar dia bisa kembali dengan segera dan tetap dapat dilihat oleh wasit. Keadaan bahaya (dangerous) bagi seorang pegulat adalah suatu hal yang diharapkan oleh lawannya karena dia akan melihat nilai bantingan (technical point). Nilai dua diberikan kepada lawannya bilamana keadaan bahaya itu kurang dari 5 detik dan nilai 3 diberikan bila lebih dari 5 detik.
Gaya yang dipertandingkan dan kelasnya
Olahraga gulat mempertandingkan 2 macam gaya yaitu gaya bebas dan gaya Yunani-Romawi. Gulat gaya bebas dan gaya Yunani-Romawi masing-masing meliputi kelas-kelas :
1. Kelas 48 kg
2. Kelas 52 kg
3. Kelas 57 kg
4. Kelas 62 kg
5. Kelas 68 kg
6. Kelas 74 kg
7. Kelas 82 kg
8. Kelas 90 kg
9. Kelas 100 kg
10. Kelas 100 kg, + (over + 100 kg).
Organisasi
Susunan organisasi PGSI berbentuk piramida dan vertikal, berjenjang mulai dari perkumpulan – perkumpulan, pengurus Kabupaten/Kotamadya, Kota (Administratif), Propinsi sampai ke tingkat Pusat.
Di Ibukota Republik Indonesia Jakarta dibentuk Pengurus Besar Persatuan Gulat Seluruh Indonesia yang disingkat PB. PGSI, di Ibukota Propinsi dibentuk Pengurus Daerah PGSI yang disingkat Pengda PGSI, di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan Kota Administratif dibentuk pengurus cabang disingkat Pengcab PGSI, yang masing-masing pembentukannya oleh kongres, rapat anggota pemilihan pengurus cabang.
Masa kepengurusan besar paling lama 4 tahun dan pengurus cabang 2 tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar